Selasa, 20 Oktober 2015

Hubungan Sipil-Militer dan Demokrasi

Dalam tulisan kali ini, penulis ingin mengulas sedikit mengenai Hubungan Sipil dan Militer terkait dengan demokrasi.
Menurut Huntington, berhasil atau tidak tumbangnya suatu rezim ditentukan oleh posisi dan peran militer. Ketika militer memutuskan untuk menarik dukungannya terhadap pemenrintahan sipil maka pemimpin tersebut akan tumbang, seperti yang terjadi di Mesir, Tunisia dan beberapa negara lainnya. Akan tetapi keterlibatan militer dalam politik merupakan sebuah tantangan bagi demokrasi.
Hubungan sipil-militer merujuk pada luasnya interaksi antara militer sebagai institusi keamanan denganberbagai sektor masyarakat (sipil). Baik atau tidaknya hubungan kedua lembaga tersebut tergantung pada posisi militer. Jika militer berada dalam profesionalismenya sebagai militer maka akan baik hubungan antara keduanya dan begitupun sebaliknya. Menurut Huntington ada dua model hubungan sipil-militer, yakni:
1.      Subjective Civilian Control
Adalah memaksimalkan kekuasaan sipil dan meminimalisasi kekuasaan militer, atau dengan kata lain sipil berada diatas militer.
2.      Objective Civilian Control
Memaksimalkan profesionalisme militer bahwa militer hanya bergelutu pada masalah keamanan dan pertahanan. Menunjukkan adanya pembagian kekuasaan ‘politk’ antara kelompok militer dan kelompok sipil yang kondusif menuju perilaku professional.
OCC mengandung perngertian adanya profesionalisme militer yang tinggi dan militer memahami profesionalismenya sehingga dapat meminimaslisasi intervensi militer dalam politik dan meminimalisasi intervensi politik dalam militer.
SCC : dicapai dengan civilianizing the military, making them the mirror of the state
OCC: dicapai dengan Militarizing
Huntington juga mengidentifikasi apa saja profesionalisme militer sebagai berikut :
a.    Memiliki keahlian- manager of violence atau keahlian berperang dan menggunakan kekerasan
b.    Responsibility, yaitu militer harus dan hanya loyal kepada negara tanpa perferansi siapapun apapun kecuali pada negara.
c.   Corporateness (karakter korporasi), yaitu memiliki semangat kesatuan yang kuat yang bersumber dari doktrin organisasi. Tidak membangkang pada korporasi.
Dengan profesionalsime yang dimiliki, maka jika militer terlibat dalam politik akan membawa kriteria-kriteria yang ada dalam militer diterapkan kedalam politik dan akan menimbulkan sisitem yang otoriter, contohnya adalah sistem komando satu arah. Jika milter terlibat dalam politik maka militer akan menjadi aktor utama yang mengendalikan poltik maka secara langsung akan menggunakan kekuasaan atau mengancam dengan menggunakan kekuasaan mereka sehingga terjadi political decay.
Ada tiga tipe keterlibatan militer kedalam politik :
1.      Moderatot pretorian
Militer bertindak sebagai kelompok yang berpengaruh dan terlibat dalam politik tanpa menguasai pemerintahan itu sendiri. Pemerintah sipil memback up kepentingan militer atau militer memiliki hak-hak istimewa dalam hal ekonomi misalnya.
Jika hubungan sipil-militer cair maka bidang politk dan pemerintahan akan dipegang oleh sipil yang mempunyao natro atau back up dari militer. Contoh pada pemerintahan Husni Mubarak
2.      Guardian pretorian
Setelah sebuah rezim tumbang militer akan memgang tampuk kekuasaan pemerintahan untuk periode tertentu. Karena militer beranggapan dengan kekuasaan dibawah militer maka stabilitas politik akan terjaga. Dalam hal ini militer sebagai pengawal dan pengawas jalannya politik di suatu negara. Contoh seperti transisi antara Husni Mubarak ke Mursi di Mesir.
3.      Ruler pretorian
Militer mengambil alih kekuasaan dengan waktu yang lama sepenuhnya baik dalam bida sosial, budaya ekonomi dan bidang lainnya. Kekuasaan ini biasa disebut sebagai Junta militer seperti yang terjadi di Myanmar.
Militer dan Demokrasi
Jika militer terlibat dalam plolitik maka sebuah negara akan jauh dari demokrasi, karena di dalam militer tidak ada system musyawarah atau hanya ada system komando satu arah, sementara dalam demokrasi yang dipakai adalah system muasyawarah atau suara bersama. Sehingga kekuasaan militer dalam pemerintahan kondtradiksi dengan demokrasi. Militer hanya akan menggunakan kekerasan dan merusak demokrasi dan proses demokratisasi.
Keterlibatan militer disini adalah militer yang masih aktif, akan tetapi jika ada militer yang telah purnawirawan maka tidak seperti penjelasan sebelumnya. Hal ini dapat dilihat dari pendapat berbagai pengamat yang mengatakan dalam kepemimpinan Indonesia dari B.J Habibi hingga Jokowi, kondisi yang lebih stabil adalah Susilo Bambang Yudhoyono karena berlatar militer.

Senin, 19 Oktober 2015

Demokrasi Substansial dan Prosedural

A.     Demokrasi Substansial
Demokrasi ini sering juga disebut sebagai pendekatan maximalist atau normative klasik. Menurut pendekatan ini, demokrasi tidak hanya menggunakan dimensi politik akan tetapi juga dimensi social, ekonomi, budaya dan dimensi lainnya. Dengan kata lain yang dimaksud dengan demokrasi mencakup semual hal dalam kehidupan. Sebuah negara dikatakan demokrasi jika rakyat terbebas dari kemiskinan, kesenjangan, buta huruf dan kemelaratan. Logikanya, jika masyarakat dalam suatu negara mengalami kesenjangan sosial dan ekonomi akan menghalangi masyarakat untuk memikirkan politik karena yang dipikirkan hanyalah bagaiaman memenuhi kebutuhan hidupnya. Asumsi dari demokrasi substansial adalah jika keadaan ekonomi dan sosial suatu negara bagus maka akan diikuti dengan system demokrasi negara tersebut.
Kritik 
        Bagi beberapa ilmuwan pemikiran demokrasi substansial hanyalah pemikiran yang utopis. Pada realitanya demokrasi substansial gagal dalam uji empiric atau verifikasi. Pada tahun 1970an banyak negara mampu melaksanakan pemilu dan kegiatan politik lainnya meskipun rakyat mengalami kemisikinan.
B.     Demokrasi Prosedural
          Sebutan lain untuk system ini adalah pendekatan minimalist atau procedural electoral. Robert Dahl, Philippe Schmitter dan beberapa tokoh lainnya lebih menekankan demokrasi pada tingkat procedural. Menurut pendekatan ini suatu negara diakatakan demokrasi jika ada partisipasi rakyat terlibat dalam aktivitas politik. Menurut Schumpeter, demokrasi adalah metode politik, mekanisme unutk memilih pemimpin dengan banyak kandidat dan dalam kompetisi ini ada yang menag da nada yang kalah. Keterlibat warga negara dalam memilih pemimpinnya secara berkala atau periodic, jujur dan bebas adalah demokrasi procedural. Menurut Robert Dahl, derajat ukuran demokrasi terletak pada adanya partisipasi politik dan kompetisi politik serta kebebasan sipil dan politik. 
Kritik 
        Pengertian yang diberikan oleh demokrasi procedural tidak sesedarhana yang dikatakan, dalam demokrasi harus ada nilai-nlai yang lebih yakni “Demokrasi Liberal”. Dalam demokrasi procedural, apakah kompetisi tidak menjamin kebebasan dan apakah pemilu bisa transparan ? inilah pertanyaan yang diajukan bagi demokrasi procedural. Bagi demokrasi liberal sebagai kritikan atas demokrasi procedural bahwa demokrasi berada pada konteks yang lebih luas yakni mencakup kebebasan sipil, penghargaan terhadap HAM, kesetaraan didepan hukum dan adanya transparansi pemerintah.
            Elemen :         1. Kompetisi yang adil dan pemilu yang bebas
                                    2. Pembagian kekuasaan
                                    3. Civil liberties
                                    4. The Rule of Law
                                    5. Civilian control of military
                                    6. Strong civil Society
                                    7. Neutrality of judiciary etc.
Pseudodemocaracy adalah demokrasi semu dimana ada konstitusi formal demokrasi akan tetapi tidak ada kebebasan ;ain seperti ekonomi, budaya. Seperti yang terjadi di Thailand, Malaysia dan beberapa negara lainnya.
Mengukur Demokrasi
Freedom House sebagai INGO yang meniliti derajat demokrasi. Sehingga negara-negara dibagi menjadi tiga tingkatan yakni; Free, Partly Free dan Not free. Indicator utamanya adalah :
1.     Ada hak-hak politik
Adanya proses politik, pluralisme dan partisipasi politik serta adanya fungsi pemerintah
2.     Dimensi kebebasab rakyat
Rakyat menyampaikan pikiran dengan bebas, hak asosiasi dan orang, rule of law dan otonomi personal.
Laporan Freedom house menjukkan bahwa negara yang Free = 89 negara, Partly Free = 55 negara dan Non Free = 51 negara. Indonesia dikelompokkan dalam negara yang Partly Free.